Fenomena apa yang biasa terjadi saat kita mau nge-date ama gebetan, selain jantung yang mendadak deg-degan dan jidat tiba-tiba empot-empotan? Rasa excited ga ketulungan atau malah salah tingkah ga karuan? Yang jelas sih, kita berusaha tampil aduhai melambai agar tidak mengecewakan pasangan.
Inilah yang saya rasakan saat mau kangen-kangenan ama LUPUS di film "Bangun Lagi Dong Lupus" yang saya tonton hari Minggu lalu. Lhoh, kok?
Sosok LUPUS bagi saya ibarat satu paket. Pria berjambul ini adalah tokoh fiksional yang paling saya idolakan sejak kelas empat SD (postingan lawas saya tentang LUPUS bisa ditengok di sini). Sedangkan pengarangnya, Hilman Hariwijaya, adalah salah satu penulis era 80'an favorit saya, yang novel-novelnya laris manis jadi buruan para kolektor hingga kini.
Sehari sebelum nyusruk ke bioskop, saya sudah prepare perabotan lenong segala rupa; mulai dari t-shirt LUPUS (order via @lupustwit), manset warna ngejreng (biar kontras ama kelir t-shirt nya), kerudung full colour motif rainbow cake (kalo laper, tinggal dicamil), sampai nyiapin beberapa novel LUPUS buat diajak nampang di depan banner. Terbilang lebayatun lumanyun? Biarin. Ga narsis, ga ngeksis!
Saat hari H, dengan langkah jumawa bersahaja, saya masuk ke antrian ticket box studio Grand 21. Dari rumah sih emang niat mau nonton maraton dua film hasil adaptasi dari novel yang ditulis mas Hilman. Pertama, Finding Srimulat, then, lanjut nonton Bangun Lagi Dong Lupus.
Agenda pertama setelah dapetin tiketnya adalah JJS (Jeprat-Jepret Seksi). Sempet celingak-celinguk, kok di dalam lobi studio ga ada standing banner Bangun Lagi Dong Lupus, yak? Haduuuh..., gagal ngeksis optimal dong. Akhirnya, terpaksa foto di depan mini poster yang terpampang di luar studio.Yaah..daripada kagak?
Agenda pertama setelah dapetin tiketnya adalah JJS (Jeprat-Jepret Seksi). Sempet celingak-celinguk, kok di dalam lobi studio ga ada standing banner Bangun Lagi Dong Lupus, yak? Haduuuh..., gagal ngeksis optimal dong. Akhirnya, terpaksa foto di depan mini poster yang terpampang di luar studio.Yaah..daripada kagak?
Makasih buat soulmate yang
bersedia diculik paksa untuk jadi fotografer dadakan. Walau
hanya bermodal hape jadul, yang penting ...sensasinya, Bung!
Asatagah...muka eike kenapa jadi bruwet gitu yak? |
Syedap kan? Buruan ikutan, sob. |
Review Film "Bangun Lagi Dong Lupus" versi Djeng Andien
Secara kodrati, saya sangat menyadari bahwa jiwa ini tidak terlahir sebagai pengamat (kritikus) melainkan penikmat. Selama 90 menit duduk dengan anggun di dalam gedung bioskop, sambil konsen melototin screen, ada hal-hal kecil yang saya catat sebagai bukti betapa besar euforia dan antusiasme hati ini akan kebangkitan film LUPUS.
Buat yang belum sempat nonton film Bangun Lagi Dong Lupus, boleh kok klik link ini untuk menyimak sinopsisnya. Sengaja saya tampilkan sinopsis dari web page Indonesian Film Center karena (menurut saya) ulasannya cukup netral dan tidak terlalu mengedepankan opini.
Pemirsa, inilah hasil pandangan mata sekaligus curahan jiwa seonggok fans LUPUS. Dari
Lupus, Poppi, dan siswa-siswa SMA Merah Putih (source: Google) |
- Dilihat dari segi antusiasme dan segmentasi penonton, hmm...cukup mengharukan *menitikkan air mata ala Adi Bing Slamet*. Hampir 2/3 kapasitas seat terisi, padahal saya nonton bukan di jam "prime time". Penonton yang memenuhi ruangan (setelah diteliti pake mikroskop) terdiri dari semua kalangan. Ada adek bayi yang baru belajar jalan, anak-anak usia SD, para ABG, remaja bahagia (seperti sayaaah), om-om, tante-tante, budhe-budhe, sampai yang udah jadi oma opa juga ada. Segmentasi usia yang beragam, dapat diklasfikasikan lagi menjadi dua kategori. Pertama, penonton yang "dibesarkan" oleh novel-novel Lupus dan film-film Lupus sejak era Ryan Hidayat hingga versi sinetron-nya (dari yang diperankan Oka Sugawa, Rico Karindra,
Irgy Ahmad Fahrezy sampai jamannya Attar Syah). Penonton kategori ini didominasi oleh generasi 80'an dan 90'an. Kedua, penonton awam/ newcomer yang memang menonton Bangun Lagi Dong Lupus karena penasaran pada cerita dan sosok Lupus. Para siswa sekolah dan ABG mayoritas masuk dalam kategori ini.
- Dalam hal adu peran para cast nya, menurut daku sih cukup nge-blend antara performa para aktor/aktris senior (Didi Petet, Dedi Mizwar, Ira Maya Sopha, Firdha Razaq, Cici Tegal) versus kualitas akting para pedatang baru yang 'ditemukan' melalui auidisi/talent searching seperti pemeran Lupus (Miqdad Addausi), Lulu (Mela Austen), Boim (Alfie Alfandy), Gusur (Jeremy Christian) dan Anto (Fabila). Seorang Acha Septriasa (notabene pernah meraih piala Citra), sebagai Poppi, cukup sukses menekan 'ego' sehingga bisa 'mengimbangi' akting para pendatang baru.
Acha kelihatan imut yaaa (source: Google) - Soundtrack favorit saya di film ini justru bukan lagu "Inspirasi Sahabat" atau "Hijaukan Bumi" (keduanya dibawakan oleh band Kotak), melainkan "Bangun Lagi Dong Lupus" yang dinyanyikan tiga pemainnya; Mela, Jeremy, dan Miqdad. Entah kenapa lagu ini sukses winning my heart. Mungkin karena liriknya yang simpel, catchy, playful dan musiknya yang sooooo 90'an (hehehe..tetep nyangkutnya di umur ya, Buk). Nyengnyong dulu nyoook:Bangun lagi dong, Lupus. Bangun...
Kejarlah mimpi, raih cita.
Bangun lagi dong, Lupus. Bangun...
Ajak sahabat mengenggam raih dunia. - Kualitas humor yang termaktub dan tertuang (kaya baca pasal UUD aja) dalam film Bangun Lagi Dong Lupus, menurut saya, dari rate 1-10, berada di angka 8,4. Artinya, film ini, walau bukan ber-genre komedi murni, cukup sukses mengilik-kilik mulut, perut, sampai lutut. Di studio tempat saya ngedoprok manja, menurut data yang tercatat pada kertas bekas bungkus pop corn, hampir tiap scene mampu membuat urat ngakak penonton menggelinjang, bahkan sejak di menit-menit awal. Pasangan saya yang sehari-hari kudu disogok seplastik cilok agar bersedia tertawa, dengan tegar tanpa ragu apalagi malu, doi ngikik kriminal saat nonton film ini. Terutama di part-nya Boim! Ga cuma gigi saya dan partner aja yang mendadak ngilu permanen, hampir seisi studio (kecuali bayi dalam kandungan) cukup heboh menikmati suguhan humor ala Bangun Lagi Dong Lupus. Bahkan ada ibu-ibu yang duduk di seat depan saya, berkali-kali disuruh diam sama penonton lain karena ketawa ga brenti-brenti. Hiiii!
Scene inilah yang pantas disebut 'kompor gas meleduk'. Boim bocor banget!
Tak dipungkiri, akting Alfie Afandy sebagai Boim memang sanggup, tidak hanya mencuri namun merampok hati saya (dan hati mayoritas penonton pastinya). "Gimmick" tokoh Boim sang playboy cap duren tiga, seperti yang kita kenal dalam novel-novel Lupus, begitu embbeded pada sosok Alfie Afandy. Komplet dengan body languange-nya yang tengil (tapi nggemesin..ehem) dan chit-chat nya yang khas alias pede level Agung 'Barbel' Hercules. Eh..btw, Agung Hecules juga ikutan main, ding. Jadi debt collector yang nguber-uber Boim. He..he..
Eniwei, ini sungguh fenomena ajaib sepanjang sejarah djeng Andien menonton pilem bioskop. Biasanya, usai nonton film hingga perjalanan pulang ke rumah, sosok pemeran utama selalu menghiasi imaji dan merasuki mimpi. Baru kali ini gara-gara Bangun Lagi Dong Lupus, saya justru 'jatuh hati' dengan Boim yang notabene bukan prominent character. Nah lho...ati-ati, Pus. Ancaman ituuh. Hihihi... - Ngrumpiin sosok Lupus di film tersebut, ehem...secara fisik sih tipe-tipe eike banget. Walau tampil tanpa jambul, tapi sanggup membuat jantung ini mumbul. Miqdad Addausy kiyutnya bikin frustasi! (celingak-celinguk kanan kiri, moga-moga ga dibaca suami).
Bicara soal peran, karakter Lupus versi Bangun Lagi Dong Lupus, menurut saya kok kurang 'nendang' ya? Terlalu sopan dan menjunjung pesan moral. Karena agak berlebihan, kesannya jadi menggurui penonton. Lupus distigmakan sebagai siswa SMU Merah Putih yang sholeh, penolong, problem solver, menomorsatukan keluarga, cinta persahabatan, tidak pendendam, dan prestatif. Teladan yang bagus untuk generasi muda.
Tapi, sebagai pecinta Lupus sejak jaman baheula, penokohan seperti ini justru mengaburkan identitas 'Lupus' seperti yang selama ini kita kenal dari novel-novelnya. Jujur, sepanjang film diputar, saya menantikan momen kejahilan Lupus. Entah ngerjain dua sobatnya, Boim&Gusur, menarik-narik rambut Poppi, atau mungkin godain adik kelasnya yang bohay. Namun tentu saja momen itu tidak saya temukan. Mas Eko (Komando Production) sebagai produser tetap keukeh merefleksikan Lupus sebagai 'remaja percontohan dan duta anti tawuran'. Harus sesempurna itukah? Aduh, padahal justru jahilnya Lupus lah yang membuat tokoh fiksi ini jadi lebih manusiawi. Toh tataran kejahilan dan keisengan Lupus seimbang dengan kreativitasnya yang jauh melampaui pencapaian remaja seusianya.
Seperti saat scene Lupus, Boim, dan Gusur yang dikejar-kejar sekelompok siswa SMA Taruna hingga nyaris terjadi aksi pengeroyokan dan tawuran. Bayangan saya, Lupus cs bakalan mengelabui 'lawan' dengan melarikan diri menuju Gang Senggol (gang sempit yang dijadikan markas untuk 'escape' para siswa SMA Merah Putih, seperti yang pernah ternarasi dalam novel "Bangun Dong Lupus, thn. 1988). Tapi ternyata..., imaji saya sia-sia. Lupus justru tampil sebagai pahlawan yang sukses memberi petuah (atau ceramah??) pada para siswa SMA Taruna mengenai dampak negatif tawuran. Kwaaak...padahal kurang semenit lagi terjadi baku hantam. Hebat juga ya, dalam waktu singkat gajolak emosi bisa teredam secara signifikan. Hiks..FTV sekali. Padahal jika kita berada pada posisi seperti itu, hanya ada dua pilihan. Lari atau... benjol! Hehehe...
Temuan lain yang sepertinya 'bukan Lupus sekaleeeee' adalah masalah dunia perngepetan eh pergebetan alias masalah cewek. Sebagai fans novel-novel Lupus, kita pasti hapal mati kalau Lupus itu masih demen ngelaba walau sudah ada Poppi disisinya. Banyak cewek yang khilaf dikecengin, mulai dari Rina, Evita Fanny (artis yang lagi naik daun ...hehehe...ulet bulu kaleeee), Rini (anak ibu kantin), Mila, Vika, Happy, hingga model junkies bernama Nessa.
However, di film Bangun Lagi Dong Lupus, jangan harap si Lupus umbar modus. Pada beberapa scene, saya sampai gemeeeesss pengen jedotin kepala ke dada mas-mas yang jualan doft drink (walau sadar diri sih, Lupus kan nurut ma skenario). Udah jelas-jelas Poppi naksir dia, bahkan rela mutusin Daniel dengan harapan bisa jadian sama Lupus. Eh..Lupusnya anteng-anteng aja. Tidak bereaksi ataupun merespon secara normalnya seorang pria yang dibalas cintanya. Malah dengan naifnya meminta Poppy balikan sama Daniel. Aduh, Pus. Mulia sekali hatimu, Nak...*kibasin selendang*. Gejolakbirahiperasaan ini secara tak terduga tersampaikan oleh Boim dalam salah satu dialog di kamar Lupus saat Boim cs mengetahui bahwa Lupus menolak berpacaran dengan Poppi, padahal cinta di hati tak bisa diingkari. Eciyeee.
Nah, kalau ga salah, Boim bilang begini: "Pus, lo tuh baik apa bego, sih? Sok pahlawan. Sok berkorban demi cinta...!". Dan saudara-saudara, jawaban Lupus sungguh membuat diri tercengang hingga kepala peyang. Lupus beralasan kenapa dia ogah berpacaran lantaran takut tidak punya waktu luang untuk Mami dan Lulu. Lupus khawatir tidak bisa memfokuskan perhatian ke keluarga jika ada Poppi dihatinya. Waduuuh..., keren amat cowok model begini. Pesen dong setengah lusin!
Uhm, padahal kan si Lupus yang selama ini kita kenal sering iri sama Lulu gara-gara tiap Lupus pergi kemanapun, ga pernah dicariin sama Mami. Beda sama Lulu yang tiap ngilang sebentar saja, Mami udah heboh membahana. Sampai-sampai tiap pergi, Lupus sengaja nyulik sendok milik Mami agar dicariin. Pasalnya Mami lebih kuatir kehilangan sendok daripada kehilangan Lupus. Hihihi. Itu menurut novel-novel Lupus yaaaa...! Hmm...tidak dipungkiri, terdapat perubahan kharakter dan image seorang Lupus. Artinya, Lupus yang kita kenal melalui novelnya sejak tahun 1988, berbeda dengan Lupus versi filmnya di tahun 2013 ini.
Lupus (bersama teman sekelasnya bernama Rosfita) yang sama-sama punya pedoman 'Haram Hukumnya Menolak Tawaran Makan", mendadak jaim di film. Saat Poppi menawarkan dinner, Lupus menolak dengan alasan tidak mau mengecewakan Mami yang sudah memasak dirumah. Aiiih..manisnyaaaah!!Anto -Boim - Lupus - Gusur
Konsep persahabatan yang dimunculkan dalam film ini pun terlalu minimalis. Hanya ada Boim, Gusur, Anto, dan Meta. Padahal saya (dan ribuan fans Lupus disono) pasti berharap lebih. Kenapa karakter Fifi Alone yang unik dan menggelitik malah tidak dimunculkan? Kemana para sohib Lupus lainnya seperti Gito, Aji, Svida, Utari, Ita, Ruri? Pasti produser punya alasan tersendiri. Mungkin konsep minimalis ini diyakini tidak akan mengurangi esensi?
Sebagai penutup, ada kalimat yang mungkin dapat kita jadikan acuan ketika menonton film yang diadaptasi dari buku/ novel:
"Banyak yang beranggapan ketika buku menyeberang menjadi film, di sanalah imajinasi penonton tiba-tiba terpenjara. Ungkapan itu sering diungkapkan dengan nada kecewa. Namun, saya berpendapat berbeda. Film dan buku adalah dua format yang sangat berbeda. Membandingkannya sah-sah saja, tetapi kemungkinan besar akan sia-sia. Saya lebih melihat bahwa film yang diadaptasi dari buku adalah sebuah perayaan. Bukan ajang pembandingan" (Dewi 'Dee' Lestari; penulis Supernova, Madre, Rectoverso, Perahu Kertas, dan Filosofi Kopi)
LUPUS, I heart you!
Nite, universe...
Nite, universe...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar