10 Desember 2013

"The Power of Mepet-Mepet"

Tidak semua kejadian di semesta ini terjadi secara kebetulan. Ada alasan yang berdiri kokoh dibaliknya, entah itu bisa dijelaskan dengan rasio, dirunut melalui logika ataupun hanya bisa diambil hikmahnya saja. Oke. Saya percaya. Dunia ini penuh kemungkinan. Selama Tuhan dan semesta merestui, apapun bisa terjadi. 

Tidak semua momen yang berbau 'mepet-mepet'  selalu membuat suasana tidak nyaman. Justru di detik-detik terakhir, keajaiban sering tersaji. Konteksnya agak berbeda dengan "The Power of Kepepet" nya Jaya Setiabudi. Kata "kepepet' dalam buku tersebut linier dengan keterbatasan kondisi/keadaan namun atas izin dan pertolongan Tuhan, seseorang yang sedang kepepet justru mampu mewujudkan kekuatan maha dahsyat diluar akal sehat dan logika untuk terbebas dari permasalahan maupun bencana. Sedangkan konsep "mepet-mepet" mengacu pada limitasi waktu dan situasi yang saling bersinggungan. Unsur kesengajaan lebih berperan.

Dua premis di atas rupanya nyata saya alami dalam kejadian satu hari, saat berada di Semarang kemarin Minggu. Tentu dalam skala yang sederhana.

Niat nglencer ke kota Loenpia, selain kangen keluarga besar yang berdomisili di sana, juga karena ingin mengikuti acara talk show "Creative Writing" dan "Meet & Greet" bersama Raditya Dika di auditorium Unnes Semarang. Sesuai jadwal yang tercantum di dua tiket yang saya miliki (dua sesi tersebut memang dipisahkan), acara talkshow dimulai dari jam 07.00 wib s/d 12.00 wib, sedangkan Meet & Greet (M&G) dimulai tepat pukul 01.00 wib.



Leaflet Meet & Greet


Awalnya tidak ada kendala, Sabtu pagi saya sudah menyiapkan 10 buku (koleksi pribadi) tulisan Raditya Dika ke dalam tas ransel untuk 'diangkut paksa' ke Semarang. Niatnya untuk dimintakan ttd di sesi book signing nantinya. 

Anyway, dua minggu sebelumnya, saya sudah pernah mengikuti talkshow Raditya Dika bertema serupa di auditorium UNS Solo. Hanya saja sedikit kecewa karena panitia tidak menyediakan sesi book signing. Padahal effort untuk datang sepertinya sudah cukup mengharu biru. Naik bus umum dari terminal, masih pakai seragam kantor berupa blazer yang panasnya ngaujubileh plus sepatu boot rawan encok, dan dilengkapi dengan tas ransel segede kutil robot gundam yang isinya tentu saja buku-buku tulisan Raditya Dika. Apa daya, semua itu sia-sia. Panitia hanya mengalokasikan "kesempatan" untuk 20 peserta yang membeli buku di stand Gramedia (berlokasi di luar auditorium). Daripada pulang dengan tangan hampa, saya memutuskan membeli (lagi) 1 buku "Manusia Setengah Salmon". Bagi pecinta buku, memiliki buku bertandatangan asli penulisnya bisa dijadikan aset investasi di hari tua. Huehehe. 

Back to the topic, dunia ini penuh dengan segala kemungkinan dan juga godaan. Oh, niat tulus yang terpatri untuk menghadiri talkshow "Creative Writing with Raditya Dika" tiba-tiba goyah saat menemukan leaflet ini :





Penampakan leaflet acara Bedah Buku "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin" (Tere Liye) sontak "menggalaukan" jiwa. Jadwal yang bertubrukan dengan talkshow Raditya Dika membuat saya harus menentukan pilihan di menit-menit terakhir. Minggu pagi, saya ambil jalan tengah. Saya ikut bedah buku Tere Liye terlebih dahulu (jam 07.00 s/d jam 12.00 wib), baru kemudian jam 12.00 wib meluncur ke Unnes untuk mengikuti M&G Raditya Dika. Toh, saya sudah pernah mengikuti talkshow Raditya Dika sebelumnya. Toh (again!), saya hanya bertekad sederhana, ingin mendapatkan ttd penulisnya which is hanya bisa didapatkan saat sesi M&G.

Keputusan 'mepet-mepet' tersebut tentu beresiko. Terlambat sedikit, saya gagal 'ketemuan' dengan Raditya Dika mengingat alokasi waktu M&G hanya satu jam. Well, setiap pilihan bukankah ada resikonya masing-masing?

Dan, di hari Minggu yang syahdu, terdamparlah saya di lokasi Bedah Buku, Balaikota Semarang, tepat jam tujuh pagi yang MEMANG terlalu pagi. Lumayan, bisa dapat tempat duduk paling depan.


I'm ready, pals!

Venue yang ideal dan nyaman. Love it!




Darwis Tere Liye dan moderator




Penulis ini paling anti berfoto bersama pengemarnya, kecuali jika kita berusia di bawah 14 tahun! :))



Ada beberapa konklusi menarik yang disampaikan Tere Liye mengenai pemahaman 'tersembunyi' dalam novel "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin" (DYJTPMA). Ya..., moral value yang sering luput dari benak pembaca yang terlanjur dimanjakan imaji dan tercabik emosi saat mengikuti narasi kehidupan Tania sang tokoh sentral dengan polemik cinta terpendamnya kepada Danar, sosok 'malaikat' dalam keluarga (yang belum connect, monggo dibaca novelnya).  Beberapa poin pada DYJTPMA tersebut antara lain:


  • Kekuatan "Bilang Tidak"
  • Hakikat Menunggu"
  • Hakikat "Berharap":  
          1. Kita tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk
          2. Yang terpenting bukan pada hasil melainkan proses
          3. Berharaplah kepada yang Maha, segala tempat dan semua pengharapan bermuara
  • Wisdom "Pergi:
          1. Kadangkala dengan pergi kita bisa tahu apakah itu cinta sejati maupun bukan
          2. Tinggalkan seseorang yang kita cintai ataupun (katanya) mencintai kita apabila ia tidak serius. Waktu dan jarak akan membuktikan itu semua.   

  • Hakikat "Memiliki" 
  • Kehormatan sebuah perasaan
  • Cinta sejati selalu datang pada saat, waktu, dan tempat yang tepat

Bang Tere lebih sering memilih turun dari stage agar tak berjarak dengan peserta

Selalu 'bernafsu' di sesi pembagian doorprize :p




Buku "Negeri Para Bedebah" yang saya beli di lokasi dan ditandatangani Tere Liye
Kalau yang ini saya dapatkan di acara seminar bersama Tere Liye di Solo, beberapa bulan yang lalu




Sukaaaaa dengan quote ini :)

Jam 11.00 wib, Tere Liye menuntaskan sesi tanya jawab. Artinya, acara inti sudah terpungkasi. Sebagai penutup, sembari menikmati lunch, peserta dimanjakan dengan berbagai hiburan yang sudah dipersiapkan panitia. Saya memutuskan untuk berkemas dan bersiap-siap menuju Unnes, karena siapa tahu masih kebagian talkshow Raditya Dika. Hasil pantauan di twitter sih acaranya molor. Tepat jam 11.30 wib, diantar sang Brama Kumbara alias suami tercinta, saya meluncur ke TKP. Estimasi waktu yang dibutuhkan dari Balaikota menuju Unnes-Sekaran adalah 30 menit.

Sampai di auditorium Unnes, sekitar pukul 12.00 wib,  terlihat Raditya Dika sedang berpamitan kepada audience. Ruangan yang dijejali 1.800 peserta mendadak penuh jerit histeria para fans penulis gaul ini. Banyak kursi kosong di deretan belakang karena para empunya sudah berlarian ke depan panggung guna mengabadikan momen. Saya mencoba tidak terpancing dan membuang jauh-jauh rasa kecewa karena ketinggalan talk show. Resiko ini sudah saya perhitungkan sebelumnya. Justru bersyukur karena masih ada sisa waktu satu jam buat leyeh-leyeh menunggu sesi M&G.

Baru lima menit berada di auditorium, terdengar pengumuman dari panitia bahwa peserta M&G diminta menuju ke ruang VIP karena acara segera dimulai. Saya bengong sambil sekilas melirik jam tangan. Laah..katanya M&G jam 13.00? Eh, bukan sekedar katanya, memang tercantum dalam tiket dan sms gateway kalau M&G dimulai tepat jam satu siang. Ini kok maju satu jam? 

Tergesa mengambil tiket yang terselip di dompet, saya pun memasuki ruang VIP yang dimaksud. Oooh..., si Dika udah duduk manis di kursi. Sementara karpet yang digelar di depannya (untuk lesehan peserta M&G) baru terisi satu orang. Panitia kembali memberikan warning pada peserta untuk tidak memotret karena sudah ada tim tersendiri yang akan mengabadikan sesi foto bersama. Oke..oke.

Dan, segera saya keluarkan semua harta karun. Jika yang lain rata-rata maksimal hanya bawa empat buku, saya dengan nistanya bangganya menjinjing sepuluh buku. 
Curi-curi jepret pake hape

Sebanyak 60 orang peserta M&G, yang disebut Dika sebagai "kalian yang punya modal lebih" diminta antre satu persatu untuk foto bareng. Karena saya tampaknya menjadi peserta manula (yang lain ABG semua!), sikap dan wibawa berusaha saya perlihatkan agar menjadi suri tauladan para generasi muda penerus cita-cita kemerdekaan bangsa. *hoek!!*


Diantara para peserta M&G. Gurat penuaan kelelahan di wajah mulai terlihat. 


Sesi tanya jawab yang memancing histeria. 



Jika beberapa peserta banyak yang tidak tahan untuk memeluk ataupun mencubit si Dika (sampai diamankan panitia), yah..saya berusaha bersikap wajar dan sedikit jaim. Iyalah ..., daripada disambit suami!


Tukang potretnya kurang kompak iiih. Ngga pakai aba-aba dulu. Wajah terlihat aneh :'(


Sepuluh buku udah beres. Oh iya, poster dan t-shirt itu dari panitia. Minat? PM yak.  :p

Meet & Greet ditutup dengan sesi tanya jawab. Dan acara yang dikemas kurang dari satu jam ini tentu saja terasa singkat. Beberapa peserta berbisik sinis, "Duit 150 rebu cuma segini doang? Cepet amat 'tanya jawab' nya?". Hihihi..hati ini pun turut mengamini. Kalau dipikir sih memang begitu adanya. Sesi tanya jawab memang terlalu singkat sehingga banyak peserta yang tidak mendapat kesempatan untuk bertanya. Panitia hanya mengakomodir empat penanya. Setelah usai, Raditya Dika pun melenggang begitu saja. Alhasil banyak fans yang kecewa kurang bisa berlama-lama dengan sang idola. 

Saat menghampiri suami yang sudah standby di luar auditorium, ada beberapa remaja yang terlihat memasuki venue. Rupanya mereka adalah pemegang tiket M&G yang baru datang. Mereka mengira acara  belum dimulai karena sesuai jadwal yang tercantum sesi M&G dimulai pada pukul 13.00 wib. Menurut saya, itu bukan 100% kekhilafan peserta. Bukankah mereka datang sebelum pukul 13.00 serta tidak ada pemberitahuan bahwa ternyata jadwal acara dimajukan?

Dan..., saya tidak tega menyaksikan 'episode' selanjutnya. Saat panitia menghampiri mereka dan mengatakan bawa Raditya Dika sudah meninggalkan lokasi beberapa menit yang lalu. Panitia mengklaim bahwa ini di luar wewenang mereka karena pihak manajemen Raditya Dika-lah yang meminta perubahan jadwal. 


Saya hanya tertegun. Dalam hal ini,  Siapa yang layak disalahkan? Siapa yang tidak profesional? Siapa yang dirugikan? Apakah uang 150 ribu bisa menebus harapan?