18 April 2013

Konspirasi Semesta dalam Bedah Buku Surat Dahlan Bersama Khrisna Pabhicara

Keras kepala, kepala batu, ngeyelan, ambisius, ga iso dipenggak (tidak bisa dicegah), dan segudang padanan kata yang lain sah-sah saja dialamatkan padaku. Menurut nyokap (diperkuat dengan keterangan dan data-data forensik dari dukun bayi yang membantu saat persalinan), sejak kecil memang aku tipikal 'keras', artinya kalau sudah berkemauan sulit dibendung. Tentu dengan konsekuensi bahwa aku  harus bertanggungjawab dengan segala resiko yang menyertai. Ortu sudah hapal mambahana soal sifatku yang satu ini. Jadi beliau selalu mendukung apapun keinginanku selama itu positif, tidak melanggar akidah, dan tidak membahayakan nyawa sendiri maupun orang lain. Buseet..yang terakhir serem amir. 

Bhuahaha...jadi ingat waktu aku kerja di perusahaan multinasional 5 tahun lalu. Karena dipandang 'nekat' alias 'hajar bleh', Boss perusahaan yang keturunan tionghoa, selalu menambahkan embel-embel 'Bonek' di belakang namaku. Bahkan seandainya saat meeting aku belum nongol, si Boss langsung histeris, "Mana Bonek? Itu orang apa sudah bosan kerja ama saya. Rapat kok telat!!" 

Nostalgia ke'bonek'anku yang paling berkesan adalah waktu SMP, tahun 1997. Untuk pertama kalinya, aku diperbolehkan pergi keluar kota demi nonton konser Stinky tanpa didampingi ortu. Saat itu Stinky melakukan promo tour album pertama mereka di Jawa Tengah. Setelah  Semarang, Pati menyusul sebagai kota kedua yang disambangi. Sebenarnya aku sudah menonton live performance mereka di Semarang, tapi, namanya juga ABG labil, ga ada kata puas. Masih ingin nonton lagi. 


Perjalanan ditempuh dengan menggunakan bus ekonomi. Nyokap menyarankan agar aku check in di hotel Graha Wisata saja, lokasi dimana para personel Stinky menginap. Dengan pertimbangan bahwa penginapan tersebut pasti telah memenuhi standar keamanan dan kenyamanan.  Jika tidak, mana mungkin artis mau stay disitu?

 
Andre Taulany dan dedek Andien tempo doeleo. Ampuuun  (dok. thn 1997)


Faktor akomodasi sebagai salah satu akses untuk menguber sang idola itu penting, guys. Kan kalau satu hotel, agenda foto bareng dan minta tandatangan bisa berjalan mulus tanpa kejar-kejaran ma satpam. Yaaah... walau mereka nginepnya di kamar VIP sementara saya tidur di kamar mandi eh kamar yang rate-nya paling ekonomis. Hihihi. Aku bersyukur memiliki ortu yang men-support total. Mereka paham bahwa dari jaman jebot, aku suka nonton konser musik, apalagi yang manggung itu grup band idola. Bakalan percuma bin sia-sia mencegah atau melarang keinginanku. Jadi, bokap dan nyokap memilih mendukung serta menitipkan kepercayaan yang harus kujaga dengan penuh tanggungjawab. 

Pernah ada konser Glenn Fredly yang diadakan di salah satu diskotik di Semarang. Sebuah dilema, Glenn adalah salah satu musisi favoritku. Di satu sisi, venue nya adalah diskotik. tempat yang aku sama sekali ga tertarik alias takut berada di dalamnya. Diskotik sering diidentikkan dengan wahana dugem ( jiaah wahana, Dufan kaleee), kepulan asap rokok, dan aroma minuman keras. Belum lagi kalo terjadi transaksi narkoba. Hiii, aku bergidik. Usiaku saat itu belum genap 17 tahun alias belum punya KTP. Syarat pengunjung diskotik harus menunjukkan KTP.  Sebagai newcomer masa pubertas unyu, rasanya aku ingin nangis guling-guling. Hasrat yang besar untuk menonton konser harus berbenturan dengan lokasi yang kurang nyaman dan rawan. Tapi nyokap memang jelmaan malaikat. Selalu mengerti apa mauku. Beliau justru menawarkan untuk menemani!

Yeaay... berkat didampingi nyokap, aku pun lolos dari pelototan security. Padahal ya, seumur-umur nyokap tu ga suka suasana hingar bingar dan punya alergi asap rokok. Tapi beliau tetap memilih menemaniku. Ikut larut dalam konsernya Glenn.  Oooh simbok...ai lop yuuuu.

Alhamdulillah, karena dukungan ortu, dibandingkan anak-anak seusiaku saat itu,"petualanganku" lebih warna -warni . Walau secara materi aku bukan dari keluarga berada, namun secara pengalaman, aku lebih teruji. Namanya juga bonek. Hehe

Nah, itu kan dulu saat masih singel, Setelah menikah seperti sekarang, sifat bonek udah ilang dong. Weiiits...siapa bilang? MASIH, tau!

Yang masih anget sih saat aku meminta ijin suami agar diperbolehkan mengikuti cara Bedah Buku dan Book Signing "Surat Dahlan" yang dihelat penerbit Noura Books pada hari Sabtu, 6 April 2013 di Djendelo Koffie, Togamas Affandi, Jogja. Informasi yang kutemukan di microblogging twitter, acara yang dikemas dalam format talkshow tersebut akan menghadirkan Khrisna Pabichara, penulis Sepatu Dahlan, Surat Dahlan, Gadis Pakarena, 10 Rahasia Pembelajar Kreatif, Kamus Indah Islami, dan yang terbaru, Antalogi Cinta.

Sebenarnya bukan jadi ganjalan andai acara Bedah Buku yang kebetulan jatuh di hari Sabtu itu diselenggarakan di kota yang dekat dengan domisiliku. Sebut saja di Solo, misalnya. Tentu pasangan akan dengan mudah mengijinkan tanpa perlawanan. Pasalnya, di hari Sabtu, suami tidak mendapat jatah libur alias harus siaga (kaya Pramuka aja). Bisa dimaklumi, betapa ia sangat berat hati melepas kepergianku yang hanya seorang diri, berkawan sepi (jiaaah...Popi Merkuri dong).  Suami mana yang tega membiarkan istrinya pulang-pergi Sragen -Jogja naik bus sendirian?Walau jujur, aku sih berani dan fine-fine aja tuh.

Hiks..hiks..., sampai hari Sabtu jam 09.00 pagi, ijin belum juga kudapat. Padahal aku sudah menunggu momen ini sejak tahun lalu. Khrisna Pabichara, akrab disapa Daeng Marewa, adalah salah satu penulis favoritku. Aku memiliki semua buku yang dianggit beliau, baik karya fiksi maupun non fiksi. Melalui akun twitter @1bichara milik beliau, aku sering menagih Daeng yang kelahiran Makasar ini untuk mengagendakan acara book signing di kota Solo atau Semarang. Dan , hasrat nan terpendam dalam selaksa gelora sekian lama pun akhirnya tergali jua (kok jadi nyastra kaya si Gusur?). Sendainya aku melewatkan kesempatan, tentu akan jadi penyesalan seumur hidup. Ini akan jadi momen pengkayaan wawasan serta sebuh investasi pengalaman yang berharga sepanjang sisa usia. 

Namun, sebesar apapun keinginanku untuk menghadiri event tersebut, ridho suami adalah yang paling hakiki. Jika akhirnya nanti suami tetap tidak mengijinkan, seberat apapun kekecewaanku, ya aku wajib manut.

Oh, Sabtu pagi sebelum ngantor, diam-diam aku tetap membawa koleksi bukuku. Entah kenapa, aku merasa yakin bahwa nanti suami akan memberikan ijin. Siapa tau fenomena mestakung (semesta mendukung) tiba-tiba datang menelikung? Dan benar saja ! Tepat pukul 10.00, eng..ing..eng...terbitlah kata 'iya' dari suami. Wohooooo...*koprol erotis*

Ternyata semesta masih melancarkan konspirasinya. Di hari yang sama, kantorku mendapatkan kunjungan dari rombongan Kementerian Sosial setelah sehari sebelumnya mengadakan simposium di Jogja. Usai melakukan observasi di kantor, tepat jam 12.00 wib rombongan dijadwalkan makan siang di rumah dinas Bupati Sragen. Aku dan salah satu teman seruangan ikut mengantar. Di sela-sela makan siang, dengan spontan temanku meminta ijin kepada salah seorang tamu agar berkenan memberi tumpangan padaku. Kebetulan rombongan akan kembali ke hotel Saphire, Jogja. Dan beliau dengan antusias merespon positif (setelah dijelaskan temanku, bahwa aku akan mengikuti acara bedah buku). "Silakan saja mbak, kebetulan bus kami masih banyak tersisa seat yang kosong". Alhamdulillah..., ga jadi gelantungan di bus umum. Hehehe. Jogjaaaa....aku datang!

 

Inilah penampakan di dalam bus. Nyaman dan lega karena tiap dua kursi hanya diisi satu orang.



Seperempat perjalanan dialokasikan untuk berintim ria dengan buku ini, sisanya....tidoooor!

Sampai di Djendelo Koffie yang terletak di lantai II toko buku Togamas Affandi, ternyata acara belum dimulai. Sebenarnya pengen sih hunting buku di lantai satu, tapi...tiba-tiba tercium aroma pisang goreng. Hidung pun mengembang dan mengempis otomatis. Ahhh..saatnya ngemil, cyint.

Djendelo Koffie

Set yang digunakan untuk talkshow

Dengan langkah ngondek bersahaja, daku bergegas menuju meja yang paling strategis dan romantis untuk memesan camilan. Hoho...kegiatan memamah biak semacam ini sangatlah penting guna menjaga vitalitas dan sensualitas, sob!

Sabar...ini baru menu pembuka, belum sampai ke menu utama.Ssst!

Hmm..usus-usus imut pun akhirnya berhenti menggelinjang. Setelah setengah jam mojok sendirian, akhirnya peserta talkshow mulai terlihat memasuki ruangan yang berkonsep lesehan. Pengemasannya boleh juga. Dengan lay out seperti itu, suasana talkshow akan terasa lebih membumi, santai, dan tidak kaku. Saat aku mengecek ponsel, ada sms dari suami menanyakan apakah acara sudah selesai. Ooeemjiii cintaaah, selesai dari mana? Mulai aja belum...

Tepat jam 5 sore (itu artinya molor satu jam dari jadwal huhuhu),  emsi mulai membuka acara. Di awal talk show, dengan gaya akrab sekaligus kocak, Khrisna Pabichara berbagi pengalaman yang paling mengesankan selama proses penyusunan novel Surat Dahlan, sebuah karya trilogi yang terinspirasi dari kisah hidup Dahlan Iskan. Sebagai sekuel novel mega best seller Sepatu Dahlan, Khrisna mengakui ada beberapa kendala yang dihadapi. Salah satunya adalah memilih dan memilah alur cerita yang relevan dengan realita sosok Dahlan Iskan saat ini.


Khrisna Pabichara dan Mbak Lulu


Dalam Surat Dahlan, kisah Dahlan Iskan bergulir pada kehidupan masa muda. Khrisna Pabichara dengan luwes merangkai romansa kisah cinta seorang Dahlan yang konon banyak dikagumi wanita. Tercatat ada tiga wanita yang mengharapkan cintanya. Selain itu dikisahkan perjuangan Dahlan dalam meniti karir menjadi seorang wartawan pada harian lokal di Samarinda hingga akhirnya mendapat kepercayaan untuk mengelola sebuah koran ternama di Surabaya. 

Keunikan sekaligus daya jual Surat Dahlan, menurutku,  adalah momen dimana seorang Dahlan muda yang begitu antipati terhadap tentara ( lantaran pernah menjadi 'target operasi' dan dikejar-kejar pasukan tentara akibat melakukan demonstrasi mahasiswa di tahun 70-an) ternyata beberapa tahun kemudian harus melamar anak seorang tentara! Huahaha..

Dalam Surat Dahlan, bahasa dan diksi yang tersaji tak kalah indah dibandingan novel pendahulunya, Sepatu Dahlan. Sederhana namun memukau. Kelincahan, kejelian, dan keluwesan seorang Khrisna Pabichara bergumul dengan kalimat sastrawi sudah sangat teruji. Tak dipungkiri, novel ini bertengger sebagai salah satu karya yang memiliki tingkat keterbacaan tinggi.


mas Bagus Tian in action



Eh, ternyata ada kejutan kecil yang (tidak sengaja) tersuguhkan untukku. Sebelum masuk sesi bedah buku, Khrisna Pabichara mendaulat salah seorang tamu undangan, namanya Bagus Tian, untuk mempuitisasikan salah satu penggalan cerita Surat Dahlan. Entah kenapa mas Bagus memilih membaca penggalan cerita di halaman 187-188, isinya merupakan curahan hati seorang Dahlan Iskan muda kepada Aisha, gadis pujaan hatinya, yang tertuang dalam lembaran buku harian. Dan pemirsa, hati ini langsung tergalau-galau saat membaca dan juga mendengarnya. Ngejleb level Eyang Subur.

Ini kalimat yang menjadi kutipan favoritku. Pertama kali membaca, aku langsung jatuh cinta dan mata mendadak becek tanpa daya....

"Maka, kehilangan kamu adalah pintu yang kupilih, agar di ruang lain aku menemukanmu sebagai yang abadi" (Surat Dahlan, hal. 187)



Cikal bakal lahirnya Sepatu Dahlan sebagai karya pembuka trilogi novelisasi Dahlan Iskan, ternyata membutuhkan perenungan tersendiri bagi Khrisna Pabichara. Penerbit saat itu menawarkan beberapa alternatif nama-nama inspirator moncer negeri ini. Setelah ditelaah secara obyektif tanpa mengkerdilkan sosok satu dan yang lainnya, sodoran nama tersebut mengerucut menjadi dua tokoh, Dahlan Iskan dan seorang tokoh prestatif lainnya (ssst..yang penasaran bisa sms ogut). 

Dan Khrisna menjatuhkan pilihan pada seorang Dahlan Iskan. Hal itu lebih pada kemiripan latar belakang masa kecil. Diakui Khrisna. separuh kisah perjalanan hidupnya mirip dengan Dahlan Iskan. Lahir dari keluarga sederhana yang hidup seadanya dalam kungkungan jeruji kemiskinan. Namun didikan orang tua yang tegas, keras, dan disiplin membuat ia tidak pernah menyerah ataupun mengasihani diri sendiri. "Bagaimana saya bisa ikut larut dalam penjiwaan seorang tokoh yang lahir dari keluarga pengusaha berada sedangkan saya tidak pernah merasakannya?", beber Khrisna saat ditanya mengapa ia memilih menulis novel dari kisah Dahlan Iskan, bukan tokoh lainnya. Khrisna mengakui bahwa ia sempat merasa tidak percaya diri karena belum memiliki pengalaman menulis novel.  


Khrisna saat membacakan penggalan novel Surat Dahlan


Sesi berikutnya adalah tanya jawab. Panitia memberikan kesempatan kepada 4 orang peserta dan bagi dua penanya terbaik akan memperoleh souvenir dari penerbit Noura Books. Yuhuuuuu..., sebagai ratu ngeksis, kagak mungkin melewatkan kesempatan manis dooong!

Masih pakai seragam kantor, bukti kebulatan tekad dan ketulusan niat :p



Ada dua pertanyaan yang aku ajukan. Pertama, mengenai latar belakang diubahnya judul ketiga trilogi Sepatu Dahlan, yakni dari Kursi Dahlan menjadi Senyum Dahlan. Kedua, konsepsi totalitas seorang Khrisna Pabichara dalam menulis/ menganggit karya-karya fiksi dan non-fiksi karena dua wujud karya tersebut sangat berbeda dan butuh konsentrasi yang berbeda pula.

Semesta masih mengukuhkan konspirasinya untuk membuatku bahagia. Panitia memilihku   sebagai penanya ter-shemog eh terbaik. Yeaaay...dapat merchandise deh!


Gleg..., warna t-shirt nya kompakan ma kaos kaki eike


Salah satu pemenang lainnya. Posenya mirip duet Cagub-Cawagub ya?!Hihihi


Acara bedah buku ditutup dengan booksigning. Ayooo..ayoooo..koleksinya dikeluarkan semua...

The mission is completed!

My dream is coming true!



Akhirnyaaaa bisa kopdar :D


Oleh-oleh dari Togamas Affandi

Ooh..., aku mau mengucapkan thanks a billion untuk dua adik2 keceeeh, dek Aig dan dek Afa yang sudah bermurah hati menjemputkku malam-malam di Togamas  dan mengantarkanku di tempat pemberhentian bus tercinta dalam suasana gerimis melankolis. Aduuuh, kalo tak ada kalian berdua, mungkin statusku tidak berhenti sampai Bonek, namun bakalan ditambah embel-embel "Bolang" alias Bocah Ilang. Ahahay.


Dek Aig dan dek Afa. Yang mau minta pin BB, wani piro?

Thanks God....
Thanks universe...
You make my day!




1 komentar:

  1. Wah, tiba tiba saya menemukan ini. Terima kasih...

    - Bagustian, Batam 2016.

    BalasHapus