26 Mei 2014

Motivasi Dari Pencuri Mimpi






Dalam scope dan kondisi apapun, setiap kita pasti punya impian. Baik itu impian di masa lampau, impian sesaat, impian spontan, ataupun impian besar yang sulit diraih. Bermimpi memang gratis, tapi bukan berarti kita memilih skeptis. Dibutuhkan doa dan usaha untuk meretas mimpi menjadi realita.



Sebagian orang memilih menyimpan mimpi untuk dirinya sendiri. Jamak disebut sebagai impian terpendam. Ekspektasi (yang dianggap) berlebihan dikuatirkan berujung kekecewaan. Kalau hanya kita yang 'mencatat' mimpi, minimal pil pahit akan kita telan sendiri. Dengan pemahaman simpel, 'lebih baik saya yang kecewa. daripada mengecawakan banyak orang'. Dan saya pun sering memilih untuk menyimpan mimpi saya...sendirian. 



Tidak dipungkiri, kita membutuhkan motivasi untuk meraih mimpi. Membutuhkan 'pendukung' untuk mewujudkan harapan. Jika mimpi disimpan sendiri, dari mana kita mendapatkan dukungan dari sekitar?



Disadari atau tidak, lingkungan adalah motivator terbaik untuk membantu kita mewujudkan mimpi. Tentu dengan segala aspek pro dan kontranya. Tidak semua orang mendukung mimpi kita, sebagian sering mencibir bahkan, sengaja atapun tidak sengaja, under estimate usaha kita. 


Pernah terjebak dalam kepungan para 'penggoyang/ pencuri mimpi'? Mengapa justru beberapa diantaranya adalah orang dekat? Jangan risau karena justru merekalah donatur motivasi yang sesungguhnya. Ajaib ya...

Mau contoh kecil? Ini yang pernah saya alami....





Saat musim recruitment CPNS beberapa tahun lalu:
Saat saya udah stuck bekerja di perusahaan swasta (a.k.a gagal meningkatkan omset penjualan :p), terbersit keinginan untuk bekerja di instansi pemerintah. Maka berbondong-bondonglah saya dan teman-teman kantor untuk (diam-diam) melengkapi berkas persyaratan pendaftaran CPNS. Jauh-jauh hari saya sudah membeli beberapa buku persiapan tes CPNS yang berisi latihan soal-soal pengetahuan umum, matematika, psikotes, kewarganegaraan, dll. Saat break makan siang, minimal 15 menit saya membiasakan membaca materi  dari buku-buku tersebut agar terbiasa menghadapi variasi soal tes nanti. Ada seorang teman (partner kerja) yang entah kenapa justru tidak merespon positif niat saya untuk mengikuti tes CPNS. Beberapa kalimat yang masih saya ingat, seperti ini:


"Ngapain ikut tes CPNS? Udah susah-susah, yang keterima palingan yang puya koneksi atau punya duit lebih"

"Gue udah berkali-kali ikut tes gituan, sampai pantukhir juga. Tetep aja yang diterima nama-nama titipan!"

Saya memilih (pura-pura) cuek dan tidak mendengarkan. Bagi saya, hidup haruslah diperjuangkan dan kita adalah orang yang paling bertanggungjawab atas nasib kita sendiri. Pilihan dan passion orang lain terhadap profesi yang ditekuni wajib dihargai. Dan, ketika saya lolos tahapan demi tahapan tes hingga resmi diterima sebagai CPNS (alhamdulillah tanpa KKN), teman saya sama sekali tidak mengucapkan selamat apalagi mengeluarkan komentar. Kok gitu ya...???



Saat memutuskan untuk menikah dengan seorang tentara:
Saya kurang paham kenapa saat itu, sekitar tahun 2010, profesi tentara dianggap sebagai (maaf) sesuatu yang tidak menjanjikan dalam bidang finansial. Memilih tentara sebagai suami sungguh tidak bergengsi. Menikah dengan tentara artinya harus rela menjalani kehidupan yang sangat sederhana, apa adanya, dan seumur hidup tinggal di asrama. Komentar itulah yang banyak saya dengar saat lingkungan mengetahui saya dekat dengan seorang tentara. Banyak yang menyayangkan pilhan saya (terutama teman-teman senior). Katanya lebih baik saya menikah dengan pengusaha atau profesi lain yang 'lahan' nya lebih basah (mungkin saya disuruh menikah dengan ikan pesut kali ya, biar basah terus!? Hehehe)

Jujur, saya sempat kesal dan sensi. Kenapa disaat saya ingin bahagia, banyak yang mencoba mengaburkannya? Meski banyak teman yang melemahkan, namun masih banyak sahabat yang menguatkan. Saya tetap mantap menikah dengan pria pilihan Allah dan (tentunya) atas restu orang tua. 

Beberapa bulan sebelum prosesi lamaran, angin segar berhembus. Mungkin semacam oase atas kekesalan saya pada komentar para pencuri mimpi (tsaah). Pemerintah mulai memberikan tambahan penghasilan berupa  tunjangan profesionalisme /remunerasi kepada anggota TNI diluar gaji pokok tiap bulannya(lumayan, ada yang diharapkan di tiap akhir bulan hehehe). Walaupun belum 100%, tapi tetap wajib disyukuri. Berapapun penghasilan suami, istri harus qana'ah. Yang penting halal, berkah, dan insha Allah barokah. Saya memegang prinsip, harta bisa dicari, tapi kebahagiaan ialah hal paling hakiki. Dan taraf kebahagiaan itu relatif. Ukurannya tidak sama. Bermacam saran yang terdengar menghambat, walau terseok-seok, saya coba abaikan.  

Ibunda sering berpesan, "Jangan bermental tempe. Jika kamu sudah mengambil keputusan, selama tidak melanggar norma dan perintah Allah, tetaplah bergerak, go ahead, dan berjuang sampai tercapai". Saya bersyukur dibesarkan dalam lingkungan yang sangat demokratis dan saling mendukung satu sama lain.



Dan selama tiga tahun menikah hingga saat ini, meskipun hidup sederhana namun alhamdulillah, dengan 'kekuatan sendiri' dan tanpa mengandalkan fasilitas dari orang tua, kami secara bertahap bisa meraih apa yang menjadi impian bersama. Target selanjutnya adalah memiliki buah hati. Semoga semesta mengamini :)


Saat ingin belajar setir mobil:
Menjadi wanita tangguh dan mandiri adalah impian. Salah satu indikator wanita mandiri, menurut saya simpel....kemana-mana bisa pergi sendiri :D. Masa sih kita kalah sama pola kemandirian jailangkung yang tiap datang tak dijemput, pulang tak pernah diantar?

Faktor kemandirian juga dipengaruhi lingkungan serta pola pengasuhan. Dari kecil saya cukup dimanjakan oleh orang tua. Mungkin karena saya anak wanita satu-satunya. Sampai jadi mahasiswa, jika lokasi tujuan agak jauh, saya terbiasa diantar ayah dengan mobil tua kebangaan beliau. Atau naik kendaraan umum. Entah, tidak ada niat sedikitpun untuk belajar mengendarai mobil. Melihat teman-teman SMA yang jago nyetir kendaraan roda empat, saya tetap bergeming. "Toh masih ada kendaraan umum, kan?".

Namun keintiman yang telah terjalin selama tahunan dengan angkutan umum, akhirnya tercederai. Selama lima tahun ini, karena tinggal di kabupaten, tiap ingin pergi ke kotamadya yang berjarak tempuh -/+ 1 jam, saya terbiasa menumpang bus. Atau minta suami mengantarkan jika ada waktu luang. Sampai akhirnya peristiwa tidak mengenakkan terjadi. Saya mengalami let's say pelecehan di dalam bus. Padatnya penumpang saat itu membuat beberapa oknum bisa 'sukses' curi-curi kesempatan. Saya pun memilih turun sebelum sampai tujuan.

Sejak saat itu, (kira-kira bulan Maret 2014), motivasi untuk belajar nyetir mobil pun muncul. Orang tua, saat saya sampaikan niat tersebut, mendukung sepenuhnya. Bahkan langsung mentransfer biaya kursus setir mobil ke rekening saya (uhuk-uhuk). Namun, tanggapan berbeda diperlihatkan oleh suami saya yang tiba-tiba mengambil peran sebagai 'pencuri mimpi'. Saat saya minta diajarkan basic skill  mengemudi, dia terlihat ogah-ogahan. Saat saya bersemangat berlatih di lapangan bola, suami sering memberikan komentar yang melemahkan semangat. Misalnya, lebih sering bilang "Ga usah terburu-buru pengen bisa" daripada "Ayo, kamu pasti bisa". Saat saya ingin berlatih bawa mobil sendiri ke kantor, dia selalu melarang. Alasannya, "Kamu belum bisa. Kalau ada apa-apa berabe". Hufth. Gemas sekali rasanya saat itu. Dan kesempatan pun datang. Saat suami sedang tidak enak badan (hanya bisa tiduran seharian), saya nekat bawa mobil ke kantor. Kebetulan saat itu sedang hujan. Nah, nyatanya bisa tuh! 



Saya mulai berlatih menambah jarak tempuh. Nyetir ke rumah mertua yang berlokasi di kabupaten tetangga atau pergi ke kota. Sengaja tidak pamit ke suami, daripada tidak diperbolehkan? Malas juga kalau belum-belum sudah dilarang.

Syukurlah, sekarang suami lebih 'percaya'. Mungkin takut istrinya semakin nekat. Hahahaha. Jika jalan-jalan ke luar kota, saya selama ini terbiasa nyetir sendirian, tanpa teman. Bukannya individualis, pelit atau gimana. Saya hanya tidak enak hati jika teman tidak nyaman dengan cara saya mengemudi. Namanya juga sedang belajar. Apalagi belum-belum ada yang nyeletuk, "Wah, kalau kamu yang nyetir, aku belum siap kenapa-kenapa. Masih pengen hidup". Duile.  Atau ada yang komentar, "Aku mau disetirin kamu kalau kamu udah lima tahun pegang mobil!" (Emangnya cicilan rumah pake nunggu lima tahun??? )

Kadang tanpa disadari, saya (dan mungkin pembaca blog ini) pernah  bertabiat sebagai pencuri mimpi. Kurang memfilter kalimat sehingga terkesan melemahkan atau merendahkan semangat lawan bicara. Pencuri mimpi yang berasal dari orang-orang terdekat (misalkan : pasangan, orang tua, keluarga, sahabat, dll) ada yang benar-benar bersumber dari ketulusan hati. Mereka ingin agar kita berpikir realistis dan tidak ingin melihat kita jatuh tersungkur. Ditilik lebih dalam, mereka sebenarnya  sangat mengasihi kita. Ya, mereka hanya mengkhawatirkan keterpurukan kita seandainya mimpi jauh dari realita. :)

Namun, berbeda jika para pencuri mimpi ini berasal dari orang-orang yang tidak mengenal kita namun paling rajin menggomentari hal-hal negatif tentang kita. Bisa jadi mereka memang punya sifat sirik, iri , dan dengki. Dalam pergaulan, sulit juga menghindari tipikal yang seperti ini.

Pencuri mimpi yang tidak senang  melihat kita sukses harus diwaspadai dengan cerdik. Dimanapun tempatnya sih biasanya penonton selalu merasa lebih pandai dari pada pemain. Jika kita membuat kesalahan, itu hal yang wajar kan? Bukankah manusia tempatnya salah dan lupa? Sepanjang kita selalu berusaha memperbaiki diri, berusaha lebih baik, dan apa yang kita lakukan tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain, kenapa kita mesti risau dengan komentar-komentar si pencuri mimpi?  Sungguh ending yang manis jika kita bisa menjungkirbalikkan demotivasi menjadi motivasi. 

Hmm...semoga saya bisa selalu mengontrol diri dan senantiasa introspeksi.

Don't let someone who gave up on their dreams talk you out of yours. 

 Semangaaaat ^^



(all picts : from Google)






















09 Mei 2014

Sragen Book Fair 2014




Yeee...yeee...yeee, buku-buku bermutu dari Gramedia kembali menyerbu. Jadi nih, dalam rangka menyambut hari jadi kabupaten Sragen yang ke -268, Perpusda Sragen bekerjasama dengan Gramedia Solo Square menghelat bazaar buku bertajuk "Sragen Book Fair 2014"

Acara yang digelar di gedung KNPI Sragen ini dapat dikunjungi tiap hari, mulai tangal 8 Mei hingga 22 Mei 2014. Selain menyediakan buku-buku new release, Gramedia juga memanjakan para book lovers dengan buku-buku best seller dengan diskon fantastis. Bahkan ada buku yang dapat dibawa pulang dengan harga 3.000 rupiah saja! 

Program Sragen Book Fair juga diramaikan dengan acara seru lainnya. Ada pameran batik khas Sragen, Sodaqoh Buku, bahkan para pengunjung juga bisa mengikuti beberapa kompetisi kompetisi menarik, antara lain Lomba Mewarnai, Lomba Mendongeng, Lomba Menghias Celengan, Lomba Penulisan Artikel, dan Lomba Menulis Surat Untuk Bupati Sragen. 

Jadi buat warga Sragen, tunggu apalagi? Monggo segera meluncur ke gedung KNPI dan ajak teman, pacar, gebetan, anak, istri, serta cucu untuk  belanja buku sebanyak-banyaknya. Mari kita bersama-sama wujudkan masyarakat Sragen yang cerdas dan gemar membaca! :)


 The main gate 




Untung ga ada buku yang digeletakin di lantai.(kaya pas pameran yang dulu itu)
 Buku kan juga punya perasaan :D





Harga mulai 3000!



Berbagai genre ditawarkan dalam pameran ini




Budaya gemar membaca memang harus dipupuk sedari dini :)



Kalau temen saya yang ini sepertinya terobsesi buku-buku tentang diet dan food combining :p



"Moga-moga dibeliin ama yayang", desah syahdu gadis berkerudung biru



Penampakan trophy untuk para pemenang lomba


beberapa stand yang meramaikan pameran