Hari ini adalah hari kelima sekaligus hari terakhir 'keterlibatanku' dalam kepanitiaan "Diklat Capacity Building" yang dihelat Kementerian Sosial RI dengan menggandeng Unit Pelayanan Terpadu Penanggulangan Kemiskinan (UPTPK) Kabupaten Sragen sebagai mitra. Diklat yang memfokuskan pada materi "Pengembangan Model Pelayanan Terpadu dan Gerakan Masyarakat Peduli Kabupaten/ Kota Sejahtera (Pandu Gempita)" telah diselenggarakan selama 5 hari sejak tanggal 20 Juni 2013, di meeting hall Hotel Graha Sragen. Di hari terakhir, aku didapuk untuk membantu tim Kemensos mendistribusikan lembar 'post test' kepada 30 peserta diklat sekaligus menjadi MC dadakan untuk menutup acara.
Sedang imut-imutnya meneliti daftar presensi peserta, pak boss (alias atasan langsung) dengan terburu-buru memerintahkanku untuk kembali ke kantor. Kabarnya ada salah seorang menteri yang akan mengunjungi UPTPK, satuan kerja tempatku bernaung. Bagai sapi ompong nyeruduk bencong, aku spontan berlari-lari menuju mobil pak boss. Di tengah perjalanan menuju kantor, beliau sempat berkoordinasi via telepon dengan staf kantor. Bisa ditebak, terdengar jerit-jerit panik di ujung sana. Agak riskan bagi kami karena baru pertama kalinya kunjungan menteri ke UPTPK terkesan begitu mendadak dan tanpa pemberitahuan dari protokol. Tidak seperti biasanya yang well organized.
Sedang imut-imutnya meneliti daftar presensi peserta, pak boss (alias atasan langsung) dengan terburu-buru memerintahkanku untuk kembali ke kantor. Kabarnya ada salah seorang menteri yang akan mengunjungi UPTPK, satuan kerja tempatku bernaung. Bagai sapi ompong nyeruduk bencong, aku spontan berlari-lari menuju mobil pak boss. Di tengah perjalanan menuju kantor, beliau sempat berkoordinasi via telepon dengan staf kantor. Bisa ditebak, terdengar jerit-jerit panik di ujung sana. Agak riskan bagi kami karena baru pertama kalinya kunjungan menteri ke UPTPK terkesan begitu mendadak dan tanpa pemberitahuan dari protokol. Tidak seperti biasanya yang well organized.
Sampai di kantor, suasana sudah lumayan kondusif, artinya...teman-teman langsung sigap merapikan meja dan menata berkas yang kadang-kadang menumpuk. Beberapa staf terlihat menyiapkan lembar testimoni dan kamera sebagai media dokumentasi.
Dengan nada legit mendayu, kuajukan pertanyaan yang maha terlambat dan terkesan kupdet alias kurang up date pada pak boss,
"Pak, memang menteri yang mau kesini siapa? Bukannya rencana kunjungan Menteri Sosial ditunda bulan depan?"
"Bukan Mensos, mbak. Pak Dahlan Iskan mau mampir ke sini. Tadi beliau di desa Bandung, Ngrampal. Acara panen raya. Ini sedang perjalanan ke UPTPK. Bentar lagi sampai...", tutur pak boss kalem.
Dyaaaar!! Aku kaget sekaligus surprise. Serasa diajak nonton layar tancep ama mamas Joe Taslim!!
Dyaaaar!! Aku kaget sekaligus surprise. Serasa diajak nonton layar tancep ama mamas Joe Taslim!!
Pelbagai ungkapan skeptis (tanpa didahului tarian erotis) berkecamuk di dada. Alamak, Dahlan Iskan mau ke sini???? Dahlan Iskan yang aku idolakan sejak beliau menjabat sebagai Dirut PLN hingga jadi orang nomor satu di Kementerian BUMN mau mampir? Dahlan Iskan yang beberapa buku tentang dirinya telah kukoleksi akan mengunjungi kantor ini? Blash..., sedetik kemudian aku sudah heboh tingkat tinggi, nyusruk kanan kiri.
Teman-teman kantor, yang sedari awal mengamati polah norakku, makin gencar menggoda. "Ayo, Ndien...mana bukumu yang tentang Dahlan Iskan itu? Mintain tanda tangan sekalian! Mumpung beliau mau ke kantor kita ini. Mana? Mana?!".
Huuufh..., seandainya mereka tahu, sudah sejak tadi aku kepengen banget pulang ke rumah untuk menculik paksa beberapa buku koleksiku. Tapi bagaimana mungkin? Membaca saja aku sulit....hiks. Gimana bisa aku balik ke rumah sementara pak menteri beberapa saat lagi 'mendarat di TKP'?
Sekali lagi, konsep "The Power of Kepepet" menunjukkan taringnya. Dengan nafsu menggebu, aku menelpon ponsel suami. Sempat pesimis suami tidak menjawab panggilanku karena sedang apel atau sedang melakukan kegiatan yang berbau kedinasan. Maklum, dibawah jam 10 pagi biasanya rush hour. Tapi untunglah (tumben-tumbenan) telepon dariku direspon. Setengah memaksa berbalut lenguhan manja, aku minta suami untuk mengatarkan buku koleksiku yang memuat kisah Dahlan Iskan, baik itu berupa novelisasi maupun karya non fiksi.
Alhamdulillah, mungkin karena sudah di-upgrade selevel Belalang Tempur, motor suami tiba kira-kira 10 menit sebelum mobil yang membawa Dahlan Iskan memasuki halaman kantor UPTPK. Leganya....
Ada tiga buku yang sukses digondol dengan unyunya; "Sepatu Dahlan", "Surat Dahlan", dan "Dahlan Juga Manusia". Harta karun tersebut segera kuletakkan di atas meja yang dekat dengan akses keluar. Maksudnya sih agar lebih mudah untuk mengejar pak Dahlan seandainya beliau meninggalkan ruangan secara tiba-tiba di akhir visit. Beliau kan terkenal gesit dan tipikal 'pejalan cepat', tho?
Lagi seru-serunya mikirin strategi gimana caranya agar pak Dahlan berkenan menandatangani buku-buku itu, (again) pak boss memberi mandat mengejutkan. Aku ditugaskan untuk 'meminta' Dahlan Iskan menuliskan testimoni mengenai kunjungannya di UPTPK pada lembar yang sudah dipersiapkan. Aiiih...pucuk dicinta, ulat bulu pun tiba (dikata iklan teh kemasan?). Kebetulan sekali, cyint. Tidak perlu susah cari celah. Nanti saat beliau selesai menulis testi, buku-buku bisa langsung kusodorkan! Yes mariyes!!!
Akhirnya beliau tiba, tanpa pengawalan mencolok namun selalu menjadi magnet bagi insan pers dan media. Berpenampilan bersahaja, pak Dahlan Iskan bergegas menyalami semua staf dengan ramah dan menyelipkan obrolan pada para pemohon (warga miskin) yang sedang mengurus kartu Saraswati maupun Sintawati.
Belum genap 15 menit, pak Dahlan Iskan terlihat terburu-buru meninggalkan lokasi karena agenda lain telah menunggu. Spontan, setengah berlari kuhampiri beliau agar berkenan menuliskan saran maupun pesan terhadap kantor UPTPK. Berhasil, beliau mengiyakan dan mengikutiku menuju meja tempatku meletakkan lembar testimoni dan buku-buku keramat itu. Eng...ing..eng..., inilah hasilnya..."
Huuufh..., seandainya mereka tahu, sudah sejak tadi aku kepengen banget pulang ke rumah untuk menculik paksa beberapa buku koleksiku. Tapi bagaimana mungkin? Membaca saja aku sulit....hiks. Gimana bisa aku balik ke rumah sementara pak menteri beberapa saat lagi 'mendarat di TKP'?
Sekali lagi, konsep "The Power of Kepepet" menunjukkan taringnya. Dengan nafsu menggebu, aku menelpon ponsel suami. Sempat pesimis suami tidak menjawab panggilanku karena sedang apel atau sedang melakukan kegiatan yang berbau kedinasan. Maklum, dibawah jam 10 pagi biasanya rush hour. Tapi untunglah (tumben-tumbenan) telepon dariku direspon. Setengah memaksa berbalut lenguhan manja, aku minta suami untuk mengatarkan buku koleksiku yang memuat kisah Dahlan Iskan, baik itu berupa novelisasi maupun karya non fiksi.
Alhamdulillah, mungkin karena sudah di-upgrade selevel Belalang Tempur, motor suami tiba kira-kira 10 menit sebelum mobil yang membawa Dahlan Iskan memasuki halaman kantor UPTPK. Leganya....
Ada tiga buku yang sukses digondol dengan unyunya; "Sepatu Dahlan", "Surat Dahlan", dan "Dahlan Juga Manusia". Harta karun tersebut segera kuletakkan di atas meja yang dekat dengan akses keluar. Maksudnya sih agar lebih mudah untuk mengejar pak Dahlan seandainya beliau meninggalkan ruangan secara tiba-tiba di akhir visit. Beliau kan terkenal gesit dan tipikal 'pejalan cepat', tho?
Lagi seru-serunya mikirin strategi gimana caranya agar pak Dahlan berkenan menandatangani buku-buku itu, (again) pak boss memberi mandat mengejutkan. Aku ditugaskan untuk 'meminta' Dahlan Iskan menuliskan testimoni mengenai kunjungannya di UPTPK pada lembar yang sudah dipersiapkan. Aiiih...pucuk dicinta, ulat bulu pun tiba (dikata iklan teh kemasan?). Kebetulan sekali, cyint. Tidak perlu susah cari celah. Nanti saat beliau selesai menulis testi, buku-buku bisa langsung kusodorkan! Yes mariyes!!!
Akhirnya beliau tiba, tanpa pengawalan mencolok namun selalu menjadi magnet bagi insan pers dan media. Berpenampilan bersahaja, pak Dahlan Iskan bergegas menyalami semua staf dengan ramah dan menyelipkan obrolan pada para pemohon (warga miskin) yang sedang mengurus kartu Saraswati maupun Sintawati.
Dengan salah satu pemohon Kartu Saraswati |
Berdialog akrab dengan staf loket Pendidikan dan siswa miskin |
Belum genap 15 menit, pak Dahlan Iskan terlihat terburu-buru meninggalkan lokasi karena agenda lain telah menunggu. Spontan, setengah berlari kuhampiri beliau agar berkenan menuliskan saran maupun pesan terhadap kantor UPTPK. Berhasil, beliau mengiyakan dan mengikutiku menuju meja tempatku meletakkan lembar testimoni dan buku-buku keramat itu. Eng...ing..eng..., inilah hasilnya..."
Testimoni untuk UPTPK (eh.., bukunya nyempil) |
Speechless! (biar norak asal alay) |
Bebas hambatan, tanpa saingan. Haseeek |
Book signing dadakan. (Buku ini hadir atas sponsor dan partisipasi suami tercinta. Plok...plok..plok) |
Honestly, hanya Dahlan Iskan-lah yang sanggup membangkitkan antusiasme kami untuk bernarsis ria dengan penuh bangga. Kunjungan menteri dan para pejabat sebelumnya sih adem ayem saja. Oops! |
Yuhuuu..., the mission is completed. Testimoni tercapai, obsesi pribadi pun tergapai. Sangat bersyukur mengingat kejadian ini diluar ekspektasi.
Aku dulu pernah berujar pada salah seorang sahabat, bahwa Dahlan Iskan ialah salah satu the person I want to meet before I die . Dan, tentu saja aku tidak pernah membayangkan bahwa semesta akan 'mempertemukan' kami dengan cara se-ajaib ini. Lucky me...., aku tidak perlu menguber, mengejar, ataupun antri berdesak-desakan untuk melihat beliau dari dekat sekaligus meminta signature beliau di bukuku (seperti yang selama ini aku bayangkan), namun justru sang idola yang 'datang' kepadaku. Jiaaaaah. Hahaha...analogi yang sembrono? Ga masalah. Yang pasti..it is too good to be true...
Sampai berjumpa lagi, Bapak.
** MANY THANKS to :
Pakne Koh Hart (untuk cintanya), mas Imam & mas Moel (buat foto-foto kecenya), dan pak Gustril (untuk kesempatannya). Lop yu!
Superr, Mbak.... Salam Dahlanis Tuban-Jatim. Plok..plokk.... #DahlanIskan
BalasHapusMaturnuwun sudah mampir di blog ini. Salam Dahlanis..hihihi
BalasHapus