17 Maret 2013

"Melipir di Jadwal Cuti yang Segelintir" (PART II)

Hai..hai..., spadaaaaa!!
Maapkeun blogger durjana ini, Pemirsa. Padatnya jadwal road show promo salep panu, sukses membuat rutinitas nge-blog jadi terbengkalai. Yak, tanpa banyak cing-cong balicong, ijinkan diri yang renta menghamba ini melanjutkan laporan perjalanan yang sempat terputus sejak minggu kemaren.


Hari Kedua (07 Maret 2013)
Di hari kedua, Ubud terasa makin ramah dan membuat betah. Seolah sudah tertohok, terjatuh, dan terperosok ke dalam pesonanya hingga tak tau kemana jiwa ini bermuara. Saat terjaga jam 5.30 WITA, jeratan kasur malah semakin menyiksa. Ogah-ogahan berusaha membelalakkan mata dan bangkit dari kemesraan bantal dan guling. Eh, lha kok ada pemandangan ganjil di luar kamar. Suami tiba-tiba melucuti pakaiannya satu per satu. Tak ayal hati ini jadi deg-deg seeer. Kok saya ngga diajak-ajak kalau mau "mencoba variasi gaya baru" di area outdoor? Hush...! Oalaaah..ternyata doi mau berenang..., tiwas GR!


You jump, I ...run!






Woi, keramas jangan di sono, Pak





Eike cucok kan cyiiiint


Tepat jam 8.00 WITA, saya dan pasangan merapat ke Padi Restaurant, Furama Villas,  untuk menikmati sarapan. Haduh, sempet keki juga jadi pusat perhatian para bule yang sedang breakfast. Baru nyadar bahwa kami berdua adalah satu-satunya produk lokal di restoran tersebut. Heran kali ya mereka, kok ada manusia pemakan nasi yang bogel, item, dan pesek seperti saya. Niat mendokumentasikan suasana breakfast jadi saya urungkan. Beban moral kalau sampai dibilang norak. Bukan apa-apa, ini menyangkut harga diri bangsa, sob!


Padi Restaurant - Furama  di kala senja (source : Google)


Sesuai rundown yang saya susun di malam sebelumnya, setengah jam kemudian, kami harus bersiap untuk private tour. Ihiiir, inilah enaknya join honeymoonkita.com,  bisa mengatur agenda jalan-jalan sesuai keinginan.

Alokasi waktu untuk "one day private tour" adalah 10 jam. Pihak travel sudah mempersiapkan 1 unit mobil APV, driver, dan BBM. Oh, driver yang menemani kami berdua, namanya mas Kadek. Pria muda yang ramah, pintar,  dan sedikit pemalu. Sebelum berangkat, saya menyodorkan list destinasi wisata yang ingin kami kunjungi. Sebenarnya ini hasil persetujuan suami karena secara mayoritas, tempat-tempat tersebut sudah pernah saya datangi. Ya kan sesuai tema..., refreshing demi menyenangkan pasangan *kerling erotis*.

Kami sempat berdiskusi dengan mas Kadek mengenai rute perjalanan sekaligus menginformasikan bahwa jam 20.00 WITA pihak travel sudah mempersiapkan private dinner di Bebek Bengil Resto, sehingga diusahakan kami tidak kembali terlalu larut malam. Setelah melalui perundingan yang alot ,ngepot and ngesot, inilah lokasi yang lolos seleksi : 
  • Museum Antonio Blanco
  • Ubud Art Market
  • Joger
  • Khrisna Art
  • Garuda Wisnu Kencana
  • Dreamland Beach

Mobil yang membawa kami  akhirnya meluncur jam 08.30 WITA meninggalkan Furama Villa. Ranjang yang demikian posesif pun enyah begitu saja saat eksotisme Ubud tersuguh di depan mata. Suasana agak gerimis waktu itu, tapi tidak mengurangi kenikmatan pesona pemandangan yang kami lewati dalam perjalanan menuju museum Antonio Blanco.

Saat mas Kadek sedang khusuk-khusuknya menyetir, tiba-tiba tanpa dosa saya menjerit imut tatkala mata ini tertumbuk pada tulisan 'Lodtunduh'. Ini kan nama desa yang sering saya baca di novel Perahu Kertas!! Tempat asal Ludhe, sang gadis Bali yang jatuh cinta pada pelukis asal Jakarta bernama Keenan. Di desa inilah Keenan menemukan dunia-nya sebagai seniman (yang engga nyambung, buruan baca novel atau liat filmnya!). Aiiih..berasa napak tilas, cyint!


Desa Lodtunduh, gudangnya seniman lukis

Romantisme Keenan & Luhde di film Perahu Kertas






 


Salah satu gelari lukisan di Lodtunduh

Lodtunduh memang menarik perhatian siapa saja yang menyusurinya. Sepanjang sisi jalan terdapat bengkel seni dan galeri lukisan. Saya sempat terpesona pada kegantengan sosok pria asing yang berada di galeri lukisan. Bukan karena norak lihat bule, tapi lebih karena ia mengenakan baju adat khas Bali, yakni udeng (ikat kepala), kain kampuh, sabuk, dan umpal (selendang pengikat). Cool!


  • Museum Antonio Blanco (The Blanco Renaissance Museum)
Museum Antonio Blanco memang sudah saya incar dari awal sebagai destinasi wisata. Sering membaca nama Antonio Blanco di banyak novel serta melihat film-film tentangnya, tentu menjadi ganjalan bagi saya bila tidak keep in touch dengan karya-karya lukisannya. 

Ada jargon populer, belum ke Ubud jika tidak mengunjungi  museum yang terletak di atas bukit tepi sungai Campuan Ubud, Gianyar, ini. Beberapa kali piknik ke Bali, saya memang belum pernah singgah ke museum yang juga kediaman pelukis keturunan Spanyol, Antonio Mario Blanco. Maklum, sebelum-sebelumnya kan ikutnya tour rombongan, bukan private, jadi tidak leluasa meng-arrange tempat wisata mana yang ingin disinggahi. 

Museum Antonio Blanco awalnya adalah sebidang tanah luas pemberian  Raja Ubud dari Puri Saren Ubud, Tjokorda Gde Agung Sukawati. Semasa menetap di Bali, Antonio jatuh cinta dan menikah dengan Ni Rondji, penari Bali yang sering menjadi obyek lukisannya.  Setelah dibangun sesuai citra dan selera pada tanggal 28 Desember 1998, museum tersebut menjadi muara Antonio Blanco untuk mewujudkan mimpi dalam hidup dan karya-karyanya. Tidak heran, Antonio menjadi sangat betah sehingga jarang keluar meninggalkan kediamannya.

Don Antonio Maria Blanco meninggal dunia pada tanggal 10 Desember 1999 di Denpasar, Bali, akibat penyakit jantung dan ginjal yang dideritanya. Ia meninggalkan seorang istri dan empat orang anak: Cempaka, Mario, Orchid dan Mahadewi.

Di museum ini, pengunjung hanya diperbolehkan mengambil gambar di  garden area dan pintu masuk utama saja. Wisatawan tidak diperkenankan memotret lukisan-lukisan Antonio Blanco kecuali satu lukisan di pintu utama. Sebanyak 300 lukisan dipamerkan. Mayoritas bertema 'perempuan cantik' (rata-rata telanjang dada)  sesuai aliran sang pelukis, 'Impresionis Romantis'. 

Di salah satu pojok ruangan, karya Antonio semakin "liar" tersaji. Ruangan ini dinamakan "Erotic Room", yang dikhususkan bagi pengunjung berusia di atas 17 tahun. Lukisan yang dipamerkan adalah seputar keelokan tubuh lelaki dan perempuan dengan posisi mayoritas sedang bersenggama. Aaaah...*tutup mata pakai karung*.


Gate di depan museum



View museum dari pintu keluar


Banyak burung cakep peliharaan Antonio

Pakne menemukan saudara yang terpisah puluhan tahun

Burung mana yang paling kiyut? :p



Sang maestro, Antonio Blanco




Arsitektur di dalam museum memang cetaaaar membahenol.  Kalau tidak ingat larangan memotret, tangan ini rasanya gatal ingin ber-jeprat-jepret ria. Namun karena kami didampingi guide, rasanya hati ini tiada tega membuatnya malu dan kecewa. Uhuk-uhuk...

Bagi yang penasaran, jangan kuatir. Saya sempat browsing di situs travel dan menemukan beberapa ilustrasi mengenai keelokan arsitektur di dalam museum. 

Lantai I museum Antonio Blanco (source : Google)



Arsitektur di lantai II (source : Google)


Museum Antonio Blanco buka setiap hari mulai pukul 09.00 WITA sampai dengan pukul 17.00 WITA. Tiket masuk seharga Rp. 30.000/orang untuk wisdom dan Rp. 50.000/ orang,- untuk wisman,  tentu tidak sebanding dengan experience yang tercipta. Bahkan, usai mengelilingi museum, tiket dapat ditukarkan dengan compliment berupa welcome drink di Rondji Restaurant yang letaknya bersisian dengan museum.



Lay out Rondj Restaurant yang surgaaa banget


Resto ini menyuguhkan makanan khas Bali dan Eropa ala Antonio Blanco



  • Ubud Art Market
Touring pun berlanjut. Mobil yang kami tumpangi berhenti sejenak di Ubud Art Market yang berlokasi di Jl. Raya Ubud. Sebenarnya, saya ingin blusukan ke dalamnya. Itung-itung cuci mata. Tapi niat itu agak tersendat gara-gara akses jalan yang becek dan banyak kubangan sehabis hujan. Akhirnya, diri ini kudu pasrah berpuas diri mengitari area depan market walau hanya sebentar. Ulalaaa.., banyak souvenir yang eye catching! Cuma, harus pintar-pintar menawar. Dan...itulah kelemahan saya.










Tips, kalau ke Bali untuk borong souvenir atau hunting benda-benda unik untuk mempercantik hunian, lebih puas bawa kendaraan sendiri. Terhindar dari ribetnya packing, aturan bagasi, dan rempongnya nenteng-nenteng bawaan di bandara. 

Well, setelah puas mendokumentasikan beberapa stall kece diatas, kami melanjutkan perjalanan ke Joger dan Krisna Art Gallery. Estimasi perjalanan sekitar 1,5 jam dari Ubud menuju Denpasar. Yuk, cap cyuuuuussss...



B E R S A M B U N G

Tidak ada komentar:

Posting Komentar