17 Juli 2012

Surat Pertama Untuk Engkau..



Satu helaan nafas yang tersisa dibalik seutas senyuman, membalut langkah saat memasuki hunian yang selama seminggu ini kutinggalkan. Tuntutan pekerjaan membuatku meninggalkanmu beberapa hari karena tugas luar kota. Padahal, selang dua hari sejak kepergianku ke Semarang, kau, menggenapi 650 personel, akan pergi bertugas ke lain pulau beberapa bulan lamanya. Disaat mayoritas anggota keluarga memanfaatkan waktu terakhir untuk menikmati hari-hari bersama pasangan, aku dan engkau justru saling berjauhan. Tapi itulah kau, sosok yang selalu maha pengertian untuk segala aktivitasku yang ber-bandrol  ‘tugas’. Kau tidak pernah memberatkan niat dan menyurutkan semangat pada kegiatanku diluar sana. Kuakui, aku tak pernah sanggup memiliki keikhlasan yang minimal setara dengan yang kau punya.

Sapa ‘Assalamualaikum’ meluncur spontan dari bibirku, walaupun kutahu tak akan kudengar balas sapamu. Hari ini, hari pertama aku memulai kehidupanku tanpamu hingga enam bulan kedepan. Sepertinya baru kemarin aku melihatmu keluar dari kapal yang akan membawamu, seusai meletakkan perbekalanmu di tubuh raksasanya. Dengan senyum khas, engkau mendekat kearahku, papa, mama, dan adik sepupuku yang sekian waktu menunggu. Aku bersyukur, tidak terlambat  tiba di pelabuhan.  Wajahmu tampak lelah dan lebih kecoklatan akhir-akhir ini. Ritme dan tanggung jawab pekerjaan yang berbeda rupanya mempengaruhi warna kulitmu. Sering kuajukan protes gara-gara kulitmu yang tidak secerah dulu, akibat porsi lapangan yang menjadi mayoritas kegiatanmu. Dan, selalu saja, kau menjawab, “Masa tentara putih? Ga jantan itu namanya”.

Hanya lima belas menit aku dan engkau bersua disela-sela keriuhan para pasukan yang akan diberangkatkan dalam rangka tugas pengamanan ke Papua. Pelabuhan Tanjung Emas terlihat menghijau beberapa saat. Kemudian berpendar, bercampur dengan beragam orang-orang yang tidak mau menanggalkan kesempatan berharga demi melepas anak, suami, kerabat, atau mungkin kekasih yang akan bertugas. Beberapa kali mataku terantuk pada pemandangan unik, segerombol gadis muda terlihat menangis histeris sembari memeluk prajurit yang (mungkin) masih berstatus kekasihnya. Sementara di kapal yang lain, rombongan prajurit lainnya meneriakkan sorak-sorai menggoda. Padahal beberapa menit sebelumnya, gadis-gadis tersebut terlihat heboh ber-pose dengan berbagai angel yang (seolah di-setting) dramatis.Berpelukan, bergandengan, dan sederet aksi romantis lainnya. Tentu saja dibalut isak tangis heroik, seolah-olah mereka mengalami duka maha dahsyat karena ditinggal sang arjuna. Mungkin mereka ingin meniru Annisa Pohan yang terlihat haru (namun elegan, catat, elegan!) ketika melepas Agus Yudhoyono, yang terdokumentasi secara artistik oleh para wartawan media cetak beberapa tahun lalu.  Atau mereka terlalu tergila-gila dengan film Korea yang sukses membuat produsen tissue kaya mendadak? Entahlah. Aku tidak tertarik!

Tahukah engkau,
Aku justru tersentuh saat melihat pria renta yang dengan penuh kasih memberikan beberapa bungkusan sebagai bekal sang putra dalam menempuh perjalanan. Senyum bangga pria yang berjalan tertatih itu lebih dari rasa bahagia melihat putranya berseragam prajurit lengkap dengan atribut ransel dan senapan laras panjang menggantung gagah di bahunya. Tugas negara memang butuh pengorbanan. Ditengah terik matahari yang menyengat, pemandangan itu makin membuatku tercekat...

Aku juga senang mengamati para prajurit yang menggendong buah hati tercinta dan bercanda dengan anggota keluarga lainnya sebagai bentuk dukungan yang positif. Bukan dengan banjir air mata yang disertai ancaman dibalik getar suara sesenggukan, “Abang, awas ya kalau disana selingkuh. Adik disini setia untuk abang”. Aku tak habis pikir..., memangnya ada orang yang jauh-jauh ke Papua hanya untuk mencari bini muda ataupun mengejar kekasih rahasia? 

Sadarkah engkau, sayang...
Saat kau berpamitan denganku, tak ada tangis dan air mata, sesuai amanahmu padaku. Kau ingin aku menunjukkan senyum cinta terindahku dan dukungan semangat yang mengalir saat aku dan engkau saling berjabat tangan. Dan Tuhan lah yang sanggup membalikkan segalanya. Aku yang sensitif, gampang menangis,  dan mudah tersentuh tiba-tiba saja diberi kekuatan untuk tetap melepasmu dengan tegar. Sesuatu yang sangat mustahil aku lakukan di suasana sentimentil seperti itu. Aku lega luar biasa karena sanggup berdiri dibalik tabir asamu. Bukan tangis yang kau pinta, namun doa. Bukan kecurigaan, melainkan dukungan. Bukan wajah sembab dengan duka tersemburat, namun senyum keikhlasan bertabur semangat. 

Aku sempat teringat celetukan atasanku di kantor. Saat itu kami sedang melakukan evaluasi kecil terhadap hasil kegiatan training ESQ yang telah diikuti oleh seluruh personel kantor. Pada akhir training, ada proses meditasi ‘peace and harmony’ yang intinya adalah...berakhir dengan tangis-tangisan. Namun hanya aku, temanku, dan atasanku yang sukses melewati momen mengharukan itu tanpa air mata. Jujur, ini sebenarnya bentuk kegagalan, bukan kesuksesan. Apa yang kami bertiga lakukan adalah diluar ekspektasi sang pengajar. Alasanku mengapa tidak bisa menangis saat itu, cukup sederhana. Aku sudah pernah melewati training semacam itu tahun sebelumnya. Jadi aku sudah hapal materinya. Berbeda saat aku mengikuti pertama kali. Wah, mataku ibarat sumber mata air yang mengalir tiada habisnya di setiap celah dan ceruk yang ada. Bahkan selama beberapa saat, aku merasa limbung dan tergoncang kala itu. 

Temanku, yang juga sama sekali tidak menangis saat proses meditasi dan renungan, melontarkan alasan bahwa wanita seusia dia belum perlu berpikir berat-berat.” Pacar aja belum punya, gimana mau ngrasain arti kehilangan”, alasannya (sok) lugu. 

Lain hal nya dengan jawaban atasanku saat aku penasaran mengapa dia tidak sesenggukan seperti teman-teman lainnya di acara ‘termehek-mehek’ seperti itu, “Kalo saya tipikalnya cenderung melawan keadaan mbak. Boleh lah yang lain-lain menangis, walau saya juga sebenarnya pengen mewek, tapi saya berusaha melawan perasaan itu”.

 Saat itu aku hanya tertawa mendengar jawabannya, tanpa sempat merenungi makna dibaliknya. Kini aku paham dan setuju sepenuhnya. Disaat  orang lain jatuh, kita tidak boleh ikut jatuh demi menunjukkan empati. Justru kita harus tetap bangkit agar bisa mengangkatnya dan menuntunnya. Bukankah kita harus mampu menolong diri kita sendiri sebelum kita menolong orang lain? Bukankah kita harus bisa menguatkan diri kita sebelum menguatkan orang lain?


Sragen, 17 Juli 2012, menjelang  tengah malam.
Aku yang selalu merindu..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar