Satu helaan nafas yang tersisa dibalik seutas senyuman,
membalut langkah saat memasuki hunian yang selama seminggu ini kutinggalkan. Tuntutan
pekerjaan membuatku meninggalkanmu beberapa hari karena tugas luar kota.
Padahal, selang dua hari sejak kepergianku ke Semarang, kau, menggenapi 650
personel, akan pergi bertugas ke lain pulau beberapa bulan lamanya. Disaat
mayoritas anggota keluarga memanfaatkan waktu terakhir untuk menikmati
hari-hari bersama pasangan, aku dan engkau justru saling berjauhan. Tapi itulah
kau, sosok yang selalu maha pengertian untuk segala aktivitasku yang
ber-bandrol ‘tugas’. Kau tidak pernah
memberatkan niat dan menyurutkan semangat pada kegiatanku diluar sana. Kuakui,
aku tak pernah sanggup memiliki keikhlasan yang minimal setara dengan yang kau
punya.
Sapa ‘Assalamualaikum’ meluncur
spontan dari bibirku, walaupun kutahu tak akan kudengar balas sapamu. Hari ini,
hari pertama aku memulai kehidupanku tanpamu hingga enam bulan kedepan.
Sepertinya baru kemarin aku melihatmu keluar dari kapal yang akan membawamu,
seusai meletakkan perbekalanmu di tubuh raksasanya. Dengan senyum khas, engkau
mendekat kearahku, papa, mama, dan adik sepupuku yang sekian waktu menunggu. Aku bersyukur, tidak
terlambat tiba di pelabuhan. Wajahmu tampak lelah dan lebih kecoklatan
akhir-akhir ini. Ritme dan tanggung jawab pekerjaan yang berbeda rupanya
mempengaruhi warna kulitmu. Sering kuajukan protes gara-gara kulitmu yang tidak
secerah dulu, akibat porsi lapangan yang menjadi mayoritas kegiatanmu. Dan,
selalu saja, kau menjawab, “Masa tentara putih? Ga jantan itu namanya”.
Hanya lima belas menit aku dan engkau bersua disela-sela
keriuhan para pasukan yang akan diberangkatkan dalam rangka tugas pengamanan ke
Papua. Pelabuhan Tanjung Emas terlihat menghijau beberapa saat. Kemudian
berpendar, bercampur dengan beragam orang-orang yang tidak mau menanggalkan
kesempatan berharga demi melepas anak, suami, kerabat, atau mungkin kekasih yang akan
bertugas. Beberapa kali mataku terantuk pada pemandangan unik, segerombol gadis
muda terlihat menangis histeris sembari memeluk prajurit yang (mungkin) masih
berstatus kekasihnya. Sementara di kapal yang lain, rombongan prajurit
lainnya meneriakkan sorak-sorai menggoda. Padahal beberapa menit sebelumnya, gadis-gadis
tersebut terlihat heboh ber-pose
dengan berbagai angel yang (seolah
di-setting) dramatis.Berpelukan, bergandengan, dan sederet aksi romantis
lainnya. Tentu saja dibalut isak tangis heroik, seolah-olah mereka mengalami
duka maha dahsyat karena ditinggal sang arjuna. Mungkin mereka ingin meniru Annisa
Pohan yang terlihat haru (namun elegan, catat, elegan!) ketika melepas Agus
Yudhoyono, yang terdokumentasi secara artistik oleh para wartawan media cetak
beberapa tahun lalu. Atau mereka
terlalu tergila-gila dengan film Korea yang sukses membuat produsen tissue kaya mendadak? Entahlah. Aku
tidak tertarik!
Tahukah engkau,
Aku justru tersentuh saat melihat pria renta
yang dengan penuh kasih memberikan beberapa bungkusan sebagai bekal sang putra
dalam menempuh perjalanan. Senyum bangga pria yang berjalan tertatih itu lebih
dari rasa bahagia melihat putranya berseragam prajurit lengkap dengan atribut
ransel dan senapan laras panjang menggantung gagah di bahunya. Tugas negara
memang butuh pengorbanan. Ditengah terik matahari yang menyengat, pemandangan
itu makin membuatku tercekat...
Aku juga senang mengamati para prajurit yang menggendong buah hati tercinta dan bercanda dengan anggota keluarga lainnya sebagai bentuk
dukungan yang positif. Bukan dengan banjir air mata yang disertai ancaman
dibalik getar suara sesenggukan, “Abang, awas
ya kalau disana selingkuh. Adik disini setia untuk abang”. Aku tak habis
pikir..., memangnya ada orang yang jauh-jauh ke Papua hanya untuk mencari bini
muda ataupun mengejar kekasih rahasia?
Sadarkah engkau, sayang...
Saat kau berpamitan denganku, tak ada tangis
dan air mata, sesuai amanahmu padaku. Kau ingin aku menunjukkan senyum cinta
terindahku dan dukungan semangat yang mengalir saat aku dan engkau saling berjabat tangan.
Dan Tuhan lah yang sanggup membalikkan segalanya. Aku yang sensitif, gampang
menangis, dan mudah tersentuh tiba-tiba
saja diberi kekuatan untuk tetap melepasmu dengan tegar. Sesuatu yang
sangat mustahil aku lakukan di suasana sentimentil seperti itu. Aku lega luar
biasa karena sanggup berdiri dibalik tabir asamu. Bukan tangis yang kau pinta,
namun doa. Bukan kecurigaan, melainkan dukungan. Bukan wajah sembab dengan duka
tersemburat, namun senyum keikhlasan bertabur semangat.
Aku sempat teringat celetukan atasanku di
kantor. Saat itu kami sedang melakukan evaluasi kecil terhadap hasil kegiatan
training ESQ yang telah diikuti oleh seluruh personel kantor. Pada akhir
training, ada proses meditasi ‘peace and
harmony’ yang intinya adalah...berakhir dengan tangis-tangisan. Namun hanya
aku, temanku, dan atasanku yang sukses melewati momen mengharukan itu tanpa air
mata. Jujur, ini sebenarnya bentuk kegagalan, bukan kesuksesan. Apa yang kami bertiga lakukan adalah diluar ekspektasi sang pengajar. Alasanku
mengapa tidak bisa menangis saat itu, cukup sederhana. Aku sudah pernah
melewati training semacam itu tahun sebelumnya. Jadi aku sudah hapal materinya.
Berbeda saat aku mengikuti pertama kali. Wah, mataku ibarat sumber mata air
yang mengalir tiada habisnya di setiap celah dan ceruk yang ada. Bahkan selama
beberapa saat, aku merasa limbung dan tergoncang kala itu.
Temanku,
yang juga sama sekali tidak menangis saat proses meditasi dan renungan,
melontarkan alasan bahwa wanita seusia dia belum perlu berpikir berat-berat.” Pacar aja belum punya, gimana mau
ngrasain arti kehilangan”, alasannya (sok) lugu.
Lain hal nya dengan jawaban atasanku saat aku
penasaran mengapa dia tidak sesenggukan seperti teman-teman lainnya di acara
‘termehek-mehek’ seperti itu, “Kalo saya
tipikalnya cenderung melawan keadaan mbak. Boleh lah yang lain-lain menangis,
walau saya juga sebenarnya pengen mewek, tapi saya berusaha melawan perasaan
itu”.
Saat
itu aku hanya tertawa mendengar jawabannya, tanpa sempat merenungi makna
dibaliknya. Kini aku paham dan setuju sepenuhnya. Disaat orang lain jatuh, kita tidak boleh ikut jatuh
demi menunjukkan empati. Justru kita harus tetap bangkit agar bisa mengangkatnya dan menuntunnya. Bukankah kita harus mampu menolong diri kita sendiri sebelum kita
menolong orang lain? Bukankah kita harus bisa menguatkan diri kita sebelum
menguatkan orang lain?
Sragen, 17 Juli 2012, menjelang tengah malam.
Aku yang selalu merindu..